SWARAPUBLIK – Di era digital yang bising dengan konten viral, suara jurnalis sejati kian tercekik di antara deru algoritma media sosial. Ironisnya, figur publik dan bahkan pejabat pemerintah tampak asyik bermain api, hingga berani membiayai buzzer bayaran untuk memoles citra, sembari mengubur profesi wartawan dalam kubangan konten murahan.
Anggota Komisi I DPRD Jawa Barat dari Fraksi PDI Perjuangan, Rafael Situmorang, dengan nada pedas menyingkap persoalan ini. Menurutnya, Jurnalisme sejati sedang dihina.
“Wartawan profesional yang bekerja keras menjaga etika dan akurasi, disamakan dengan akun medsos yang cuma mengejar klik dan cuan. Ini bukan sekadar kelalaian, ini sabotase terhadap demokrasi!” tegasnya di Bandung, belum lama ini.
Menurut Rafael, banjir konten dari “produsen berita” dadakan—tanpa etika, tanpa verifikasi—adalah ancaman nyata. Buzzer, yang tak lebih dari pasukan bayaran digital, berlomba menciptakan sensasi demi engagement, tanpa peduli dampaknya pada kebenaran.
Yang lebih mencengangkan, lanjut Rafael, dirinya menuding pemerintah ikut andil dalam drama ini. Anggaran komunikasi publik, yang seharusnya memperkuat media profesional yang tunduk pada etika dan undang-undang, malah mengalir ke akun-akun anonim atau influencer tanpa badan hukum.
“Ini bukan cuma pembiaran, ini kolusi. Pemerintah, secara sengaja atau tidak, terkesan sedang membantu mematikan pers,” kecamnya.
Situasi ini, lanjut Rafael, kian kritis ketika menjelang pemilu. Banjir hoaks dan narasi sesat dari buzzer berpotensi mengelabui publik, sementara masyarakat kehilangan pegangan untuk membedakan fakta dari propaganda.
“Literasi media kita sudah di ujung tanduk. Warga tenggelam dalam lautan informasi, tapi tak punya kompas untuk memilah. Pemerintah harusnya jadi penyelamat, bukan malah jadi bagian dari masalah,” ujar legislator dari Dapil Kota Bandung dan Cimahi itu.
Rafael menyerukan Pemprov Jabar untuk berhenti memanjakan buzzer dan mengagungkan media sosial, serta mulai kembali menguatkan media profesional yang tunduk pada regulasi Dewan Pers.
“Jika demokrasi ingin bertahan, suara jurnalis harus didengar, bukan diredam oleh algoritma medsos,” tutupnya.***