SWARAPUBLIK – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menapak 100 hari masa kepemimpinannya. Berbagai kalangan pun memberikan berbagai tanggapan termasuk dari Kaukus Ketokohan Jawa Barat.
Bertempat di Alam Sentosa, Kabupaten Bandung, forum bertajuk “Populisme vs Profesionalisme: Antara Gebrakan dan Kontroversi” ini berubah menjadi ruang otokritik atas gaya kepemimpinan Dedi yang dianggap lebih mirip konten kreator daripada kepala daerah.
Dipimpin oleh tokoh senior Eka Santosa, diskusi yang digelar Jumat (30/5) itu menghadirkan beragam suara: dari akademisi kampus hingga aktivis jalanan. Hadir di antaranya Dr. Affan Sulaeman (UNPAD), Kang Dody Permana, hingga politisi kawakan Kang Komeng. Satu benang merah mengikat semua suara: kekhawatiran terhadap arah pemerintahan Jawa Barat yang dianggap lebih berisik di media sosial daripada di ruang kebijakan.
Populisme Digital atau Kepemimpinan Visioner?
Dedi Mulyadi dikenal dengan energi lapangannya. Ia turun langsung membongkar bangunan bermasalah, menyapa warga, dan membumikan narasi “Jabar Istimewa” dalam setiap unggahan media sosialnya. Namun bagi Eka Santosa, cara kerja itu lebih menyerupai pertunjukan dibanding perencanaan.
“Yang kita saksikan bukan pembangunan, tapi panggung personal. Gubernur tampil sebagai bintang konten, bukan perancang masa depan,” sindir Eka.
Ia menyinggung keberadaan tim digital besar yang dinilai lebih sibuk mengurusi citra pribadi daripada mengelola kerja kolektif pemerintahan.
Konsep “Jabar Istimewa” pun dituding sebagai jargon kosong. “Istimewa bukan sembarang istilah. Harus ada dasar hukum, indikator yang terukur, bukan sekadar estetika kata,” tambah Eka.
Profesionalisme yang Digeser Popularitas
Dr. Affan Sulaeman menyoroti bahaya populisme yang menenggelamkan rasionalitas kebijakan. Baginya, kepemimpinan Dedi cenderung mengarah ke one man show yang didorong oleh viralitas ketimbang kebutuhan publik.
“Demokrasi bukan soal siapa yang paling viral, tapi siapa yang paling akuntabel. Proses kebijakan tak boleh dikaburkan oleh kamera,” tegas Affan.
Kritik senada dilontarkan Kang Dody Permana. Ia menyebut gaya Dedi sebagai bentuk “domestikasi kekuasaan” yang menjauh dari prinsip kolegial. “Yang tampak seperti kerajaan kecil, dengan keputusan-keputusan besar yang tertutup tapi dikemas populis,” ujarnya.
Isu penunjukan Mardigu sebagai Komisaris Bank bjb menjadi bukti. Penunjukan itu dianggap tidak melalui mekanisme terbuka dan lebih dipengaruhi oleh kedekatan politik ketimbang seleksi profesional.
“Kalau memang mau bentuk kerajaan, bilang saja. Jangan dikemas pakai konten merakyat,” ucap Dody tajam.
DPRD Bungkam, Isu Lingkungan Ditinggalkan
Forum juga mengkritik lemahnya peran DPRD Jawa Barat dalam mengawal kebijakan eksekutif. “Gubernurnya showman, dewan diam seribu bahasa. Keduanya gagal menyeimbangkan demokrasi,” tegas Deden Rukman Rumadji, peserta saresehan.
Isu lingkungan menjadi alarm lain. Kang Utun, aktivis lingkungan, mengingatkan krisis ekologis di Jawa Barat yang nyaris tak terdengar di kanal resmi gubernur. TPA Sari Mukti mengalami overkapasitas, krisis air bersih meluas, dan kualitas udara memburuk.
“Konten bisa dimanipulasi, tapi bau sampah tidak. Ini soal hidup mati warga, bukan soal pencitraan,” seru Kang Utun.
Ia juga menyesalkan budaya Sunda dijadikan ornamen politik belaka. “Nilai eling dan nyaah ka balaréa hanya jadi properti visual. Tidak tampak dalam keputusan nyata,” tambahnya.
Mencari Jalan Tengah: Rasionalitas Sebagai Poros
Meski tajam, saresehan ini bukan ajang pembantaian karakter. Forum justru menekankan pentingnya jalur tengah: politik berbasis rasionalitas. Sebuah seruan untuk mengembalikan wajah pemerintahan kepada hal yang substantif, bukan selebratif.
“Ini bukan serangan pribadi. Tapi pengingat: Jawa Barat harus dibangun dengan logika, bukan euforia,” tutup Deden.
Forum ini berencana mengkristalkan hasil diskusi menjadi dokumen rekomendasi yang akan disampaikan ke DPRD dan Pemerintah Provinsi. Apakah akan didengar? Itu PR besar 100 hari berikutnya.****