SWARAPUBLIK – “Kenapa banyak orang ingin menikah, tapi sedikit yang benar-benar siap?” Pertanyaan tajam ini dilemparkan oleh Ketua DPRD Jawa Barat, Buky Wibawa, saat berdialog dengan warga di RW 26, Cipageran, Cimahi Utara, dalam acara sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak. Bukan sekadar retorika, pernyataan politisi Partai Gerindra ini mengguncang kesadaran hadirin tentang pentingnya persiapan matang sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Dalam suasana yang hangat namun penuh makna, Buky menegaskan bahwa perlindungan anak tidak dimulai saat mereka lahir, tetapi jauh sebelum itu—dari kesiapan orang tua membangun keluarga yang kokoh. Apa rahasia di balik pesan ini, dan bagaimana Perda Perlindungan Anak menjadi pilar untuk masa depan generasi?
Dengan gaya bicara yang lugas namun mengena, Buky Wibawa menyentuh isu yang sering diabaikan: banyak pasangan menikah dengan niat baik dan cinta yang membara, namun tanpa bekal yang cukup. “Cinta yang besar pun bisa karam jika tak disertai pemahaman dan kesadaran,” ujarnya di hadapan warga Cipageran. Menikah, menurutnya, bukan sekadar soal hasrat atau tradisi, melainkan komitmen untuk membangun fondasi keluarga yang sehat—tempat anak-anak tumbuh dengan aman dan penuh kasih.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat menunjukkan bahwa tingkat perceraian di provinsi ini masih tinggi, dengan lebih dari 50.000 kasus per tahun pada 2023, banyak di antaranya dipicu oleh kurangnya kesiapan emosional dan finansial. Buky menyoroti bahwa kegagalan pernikahan sering berdampak langsung pada anak, mulai dari trauma emosional hingga kurangnya perhatian dalam tumbuh kembang. Inilah mengapa Perda Perlindungan Anak, yang menjadi fokus sosialisasi, menekankan pentingnya pencegahan masalah dari akarnya: kesiapan orang tua.
Buky Wibawa menegaskan bahwa melindungi anak tidak berarti membatasi atau menakut-nakuti mereka, tetapi membekali mereka dengan pengetahuan dan nilai-nilai sejak dini. “Bukan dengan larangan, tapi dengan bekal. Bukan menakut-nakuti, tapi menguatkan logika dan menanamkan komitmen,” katanya. Ia mengajak orang tua untuk menjadi pendidik pertama bagi anak-anak mereka, memberikan pemahaman tentang tanggung jawab, komunikasi, dan nilai keluarga sebelum mereka memutuskan menikah.
Perda Perlindungan Anak Jawa Barat, yang disosialisasikan Buky, mencakup berbagai aspek, seperti pencegahan kekerasan terhadap anak, akses pendidikan, dan perlindungan dari eksploitasi. Namun, Buky menyoroti satu poin krusial: perlindungan anak dimulai dari keluarga. Orang tua yang siap—baik secara emosional, finansial, maupun mental—akan menciptakan lingkungan yang mendukung anak untuk tumbuh dengan percaya diri dan aman. “Anak adalah cerminan keluarga. Jika kita ingin anak yang kuat, orang tua harus lebih dulu kuat,” tegasnya.
Acara di RW 26 Cipageran bukan sekadar sosialisasi formal, tetapi dialog dua arah yang hidup. Warga, dari ibu rumah tangga hingga tokoh masyarakat, antusias berbagi pandangan tentang tantangan membesarkan anak di era modern. Buky, dengan pendekatan yang hangat dan dekat, mendorong diskusi terbuka tentang isu-isu seperti pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga, dan pentingnya komunikasi keluarga. “Saya ingin warga merasa bahwa Perda ini bukan aturan kaku, tapi alat untuk membangun keluarga yang lebih baik,” ujarnya.
Cimahi Utara, sebagai salah satu wilayah dengan tingkat urbanisasi tinggi, menghadapi tantangan seperti maraknya pernikahan dini dan kurangnya literasi parenting. Sosialisasi ini menjadi langkah strategis untuk membawa Perda langsung ke masyarakat, memastikan pesan tentang perlindungan anak sampai ke akar rumput. Buky juga mengajak warga untuk tidak ragu melaporkan kasus kekerasan atau kelalaian terhadap anak, dengan jaminan bahwa pemerintah daerah siap mendukung melalui mekanisme yang telah disediakan.
Meski Perda Perlindungan Anak menawarkan kerangka hukum yang kuat, implementasinya tidak tanpa hambatan. Literasi masyarakat tentang hak dan kewajiban anak masih rendah, terutama di komunitas pinggiran. Selain itu, koordinasi antar-lembaga, seperti pemerintah daerah, kepolisian, dan organisasi masyarakat, perlu diperkuat untuk memastikan kasus-kasus pelanggaran ditangani dengan cepat dan adil. Buky Wibawa menekankan perlunya sosialisasi yang berkelanjutan dan program pendampingan, seperti pelatihan parenting atau konseling keluarga, untuk mendukung orang tua.
Ke depan, Buky berharap Perda ini menjadi pemicu perubahan budaya. “Saya ingin melihat Jawa Barat di mana setiap anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih, dan setiap pernikahan dibangun dengan kesiapan yang matang,” ujarnya. Ia juga mengajak pemuda untuk lebih kritis dalam mempersiapkan diri sebelum menikah, termasuk memahami tanggung jawab finansial, emosional, dan sosial yang menyertainya.
Sosialisasi di Cipageran adalah pengingat bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Buky Wibawa, dengan visi dan kepeduliannya, telah menyalakan api perubahan, tetapi keberhasilannya bergantung pada keterlibatan masyarakat. Orang tua diajak untuk tidak hanya mendidik anak, tetapi juga mempersiapkan diri sebagai fondasi keluarga yang kokoh. Pemuda didorong untuk melihat pernikahan sebagai kom commitment jangka panjang, bukan sekadar impian romantis. Dan masyarakat secara keseluruhan diundang untuk mendukung lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak.
Dengan Perda Perlindungan Anak sebagai landasan, Buky Wibawa mengajak kita semua untuk membangun Jawa Barat yang lebih baik—tempat di mana cinta dalam pernikahan berpadu dengan kesiapan, dan anak-anak tumbuh dengan penuh harapan. Jadi, apakah Anda siap menjadi bagian dari perubahan ini? Mari wujudkan keluarga yang kuat dan anak-anak yang terlindungi, mulai dari sekarang!***