SWARAPUBLIK – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban di Cimahi, Jawa Barat, sebuah momen bersejarah tercipta di Balai RW 021, Kelurahan Baros, Cimahi Tengah. Ketua DPRD Jawa Barat, Buky Wibawa, menggelar silaturahmi sekaligus sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Acara ini bukan sekadar formalitas birokrasi, melainkan panggilan keras untuk mengubah cara masyarakat memandang hak-hak perempuan. Dengan gaya yang tegas namun penuh empati, politisi Partai Gerindra ini menegaskan bahwa Perda ini adalah senjata ampuh melawan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Namun, apa yang membuat sosialisasi ini begitu istimewa, dan bagaimana pesan Buky Wibawa bisa mengguncang kesadaran masyarakat?
Dalam pemaparannya di hadapan warga Baros, Buky Wibawa menegaskan bahwa Perda Nomor 2 Tahun 2023 bukanlah sekadar dokumen hukum yang berdebu di lemari kantor. “Ini adalah komitmen nyata negara untuk melindungi hak-hak perempuan, memastikan mereka bebas dari diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan,” ujarnya dengan penuh semangat. Perda ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pemberdayaan ekonomi melalui pelatihan keterampilan, perlindungan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga, hingga akses pendidikan dan kesehatan yang setara.
Di Jawa Barat, di mana angka kekerasan terhadap perempuan masih menjadi isu serius—dengan laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga mencapai ribuan setiap tahun menurut data Komnas Perempuan—Perda ini menjadi angin segar. Buky menyoroti bahwa perempuan tidak hanya berhak merasa aman, tetapi juga didengar dan dihargai dalam setiap aspek kehidupan, dari rumah tangga hingga ruang publik. “Perda ini adalah cerminan bahwa negara hadir untuk perempuan, tapi keberhasilannya tergantung pada kesadaran kita semua,” tambahnya.
Salah satu momen paling mencolok dalam sosialisasi ini adalah pernyataan Buky yang mengguncang: “Masyarakat yang memilih diam dan jadi penonton saat ada perempuan yang mengalami kekerasan juga bisa dilaporkan.” Pesan ini bukan sekadar peringatan, tetapi tamparan keras bagi budaya apatis yang sering kali membiarkan kekerasan terhadap perempuan berlangsung tanpa intervensi. Dalam konteks sosial di mana stigma sering membuat korban enggan melapor, pernyataan ini mengajak warga untuk menjadi agen perubahan, bukan sekadar pengamat pasif.
Buky menjelaskan bahwa Perda ini memberikan landasan hukum bagi masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan atau diskriminasi, baik yang dialami langsung maupun disaksikan. Dengan mekanisme pelaporan yang diperkuat, termasuk kerja sama dengan lembaga seperti kepolisian dan organisasi masyarakat sipil, Perda ini berupaya menciptakan ekosistem yang lebih responsif terhadap isu perempuan. “Jangan biarkan ketakutan atau rasa malu menghalangi keadilan. Kita semua punya tanggung jawab,” tegas Buky di hadapan puluhan warga yang hadir.
Acara di Balai RW 021 bukanlah sekadar seremoni. Cimahi, sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan urban yang pesat, sering kali menghadapi tantangan sosial seperti kesenjangan gender dan kekerasan berbasis gender. Sosialisasi ini menjadi langkah strategis untuk membawa Perda langsung ke akar rumput, memastikan bahwa warga, terutama di komunitas lokal seperti Kelurahan Baros, memahami hak dan kewajiban mereka. Buky Wibawa, dengan pendekatan yang dekat dan lugas, berhasil membuat isu yang sering dianggap “berat” menjadi relevan dan mudah dipahami.
Lebih dari itu, kehadiran Buky sebagai figur publik dari Partai Gerindra menunjukkan bahwa isu pemberdayaan perempuan bukanlah milik satu kelompok, tetapi agenda bersama. Ia mengajak warga untuk tidak hanya mengenal Perda, tetapi juga mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti mendukung perempuan dalam wirausaha, melaporkan kekerasan, atau memastikan anak perempuan mendapat akses pendidikan yang layak.
Meski Perda Nomor 2/2023 menawarkan harapan besar, tantangan implementasinya tidak bisa diabaikan. Pertama, kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan masih rendah di banyak daerah, terutama di komunitas pedesaan atau pinggiran kota. Sosialisasi seperti ini perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan, dengan melibatkan tokoh masyarakat, agama, dan pemuda untuk memperluas dampak. Kedua, anggaran dan sumber daya untuk program pemberdayaan perempuan sering kali terbatas, sehingga pemerintah daerah harus kreatif dalam mencari solusi, seperti kemitraan dengan sektor swasta.
Buky Wibawa optimistis bahwa sosialisasi ini hanyalah langkah awal. “Semoga makin banyak masyarakat yang sadar bahwa perempuan berhak merasa aman, didengar, dan dihargai,” ujarnya. Ia berharap Perda ini tidak hanya menjadi dokumen hukum, tetapi juga katalis untuk perubahan budaya, di mana kesetaraan gender menjadi norma, bukan pengecualian. Dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk komunitas lokal dan media, Buky yakin Jawa Barat bisa menjadi contoh dalam pemberdayaan dan perlindungan perempuan.
Sosialisasi di Balai RW 021 adalah pengingat bahwa perubahan dimulai dari langkah kecil di komunitas. Buky Wibawa telah menyalakan percikan kesadaran, tetapi keberlanjutan tergantung pada kita semua. Bagi warga Cimahi dan Jawa Barat, pesan Buky jelas: jangan diam saat melihat ketidakadilan, dukung perempuan di sekitar Anda, dan jadilah bagian dari gerakan menuju kesetaraan. Perda Nomor 2/2023 bukan sekadar aturan, tetapi manifesto untuk masa depan di mana setiap perempuan bisa hidup bebas dari ketakutan dan penuh martabat.
Jadi, apakah Anda siap bergabung dalam perjuangan ini? Mari dukung langkah Buky Wibawa dan wujudkan Jawa Barat yang lebih adil dan setara untuk semua!